Kamis, 26 November 2009

MANAJEMEN KONFLIK

Kalau kita mau jujur, tak ada kehidupan kelompok yang tak mengalami konflik di dalamnya, bahkan dalam kelompok yang terkecil sekalipun, seperti sebuah keluarga. Saya masih selalu ingat nasihat orang-orang tua saat saya hendak menikah dulu, bahwa membina sebuah keluarga, apalagi saat-saat awal, minimal 5 tahun pertama adalah periode yang sangat sulit. Saat-saat itu adalah saat-saat dua pribadi, dua ego, dari dua latar yang berbeda, berusaha untuk dipadu dalam satu rumah. Tentu akan muncul gejolak-gejolak konflik. Sebagian orang-orang tua bahkan menceritakan bahwa saat-saat berat seperti itu juga kadang berulang pada periode tertentu, setiap 7 tahun atau 10 tahun. Dan setelah saya menikah, nasihat orang-orang tua tersebut memang benar-benar nyata.

Kalau dalam kehidupan kelompok yang terkecil sekalipun konflik itu bisa muncul, terutama dalam periode awal pertaliannya, tidaklah aneh bahwa dalam kehidupan kelompok yang lebih besar, seperti partai politik, konflik tersebut akan muncul juga. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tidaklah imun dari hal yang amat natural tersebut. Apalagi PKB masih relatif baru, umurnya bahkan belum sampai 10 tahun. Partai yang seumur misalnya PAN juga mengalami hal serupa (PAN vs. Matahari Bangsa). Bahkan, partai yang usianya relatif lebih lama saja, seperti misalnya PDI-P dan PPP, juga mengalami hal itu (PDI-P vs. PDP, PPP vs. PBR).

Sebenarnya memang bukan konfliknya yang substansial dalam kehidupan berkelompok, karena konflik itu natural. Namun manajemen konflik itulah yang penting untuk dicarikan metode yang tepat, terutama manajemen konflik dalam partai politik. Dalam tradisi demokrasi yang lebih mapan, konflik internal dalam satu partai itu disalurkan misalnya lewat mengakui dan menerima adanya faksi-faksi politik, dan lewat tradisi 'challenge' untuk memilih pimpinan baru.

Tradisi faksi dalam partai politik

Sejak awal sebuah partai politik perlu sadar bahwa di dalam tubuhnya akan ada atau akan muncul aliran-aliran, kelompok-kelompok 'interest', atau apa pun yang lebih kecil. Meski secara umum semua aliran atau kelompok tersebut masih memiliki sebuah latar belakang atau tujuan besar yang mirip, dan oleh karenanya berkelompok dalam sebuah partai. Akan tetapi pengelompokan ke dalam grup yang lebih kecil tersebut tidak boleh diingkari. Dengan menyadari bahwa di dalam dirinya terdapat atau akan terdapat aliran dan kelompok-kelompok yang berbeda, partai politik tersebut perlu mengakui eksistensi dari 'faksi-faksi'. Faksi inilah yang merupakan bentuk pengelompokan dalam sebuah partai politik.

Faksi-faksi dalam sebuah partai politik sesungguhnya memang diperlukan. Kenapa? Karena dengan adanya faksi-faksi itulah sebuah partai politik akan selalu dinamis. Persinggungan di antara faksi-faksi ini akan menggerakkan sebuah partai dari kejumudan. Selain itu, dinamika ini sekaligus akan menjadi kontrol internal dari partai tersebut. Memang persinggungan itu akan menjadi faktor destruktif apabila tidak dapat dikelola. Namun mengingkari adanya faksi justru akan menjadi awal dari konflik internal yang berkepanjangan.

Tradisi 'challenge' untuk menyelesaikan perbedaan antar faksi

Dengan mengakui dan menerima adanya faksi-faksi politik dalam sebuah partai, maka selanjutnya perlu mekanisme bagaimana kepentingan faksi-faksi ini bisa diartikulasikan. Dalam tradisi yang lebih berkembang, perbedaan tersebut diakomodasi lewat tradisi seperti tradisi 'challenge'. Tradisi ini bebentuk upaya perebutan pimpinan partai lewat pemilihan ulang pimpinan partai di antara internal 'pimpinan partai' (party room). Siapa saja yang masuk dalam daftar party room dapat ditentukan oleh masing-masing partai, namun intinya jumlahnya tidak terlalu besar (sekitar seratusan). Dan yang paling penting dimasukkan di dalam party room ini adalah para pengurus partai dan anggota-anggota legislatif yang berasal dari partai tersebut pada tingkatannya (nasional atau lokal). Karena pada umumnya, perbedaan kepentingan itu muncul di antara mereka terlebih dahulu sebelum merambah lebih luas.

Memang, dalam tradisi kepartaian di Indonesia, hal terakhir ini biasa dilakukan lewat Muktamar Luar Biasa (MLB), Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) atau apapun namanya. Namun proses tersebut selama ini sangat mahal karena melibatkan sangat banyak orang. Sampai-sampai ribuan orang ikut serta, dan bahkan membuat seperti sebuah pasar malam. Ia menguras tenaga, fikiran dan uang. Lebih dari itu, MLB atau Munaslub ini justru sering tidak melibatkan faksi-faksi yang berseberangan. Anggota-anggota legislatif dari partai tersebut sering justru tidak bisa ikut bersuara. Karena misalnya, setelah menjadi anggota DPR-RI dia bukan lagi pengurus harian partai baik di pusat maupun di daerah, sehingga tidak punya hak suara. Padahal dari antara merekalah banyak perbedaan kepentingan itu muncul.

Dengan kondisi seperti ini, MLB dan Munaslub pada akhirnya lebih mengecilkan arti aliran atau pengelompokan yang saling berbeda, bukan untuk menyadari dan menerimanya sebagai sebuah kenyataan. Sehingga, yang terjadi, setelah MLB, aliran atau kelompok yang tidak puas keluar dari partai dan tidak jarang membangun sebuah partai baru. Di sisi lain partai utama kemudian didominasi oleh kelompok para pemenang.

Perlu kesadaran demokrasi baru

Padahal bagaimanapun solidnya, perlu sekali lagi disadari bahwa pengelompokan merupakan sesuatu yang natural. Dan pada masanya akan muncul lagi baik di partai baru maupun di partai utama pengelompokan baru lagi yang akan berbeda kepentingan pula. Sebagai misal saja, di PBR yang tadinya menjadi rival PPP, kemudian muncul pula konflik antara Zaenuddin MZ vs. Zaenal Ma'arif lalu Zaenal Ma'arif vs. Bursah Zarnubi. Kalau kita tetap mengikuti cara yang selama ini terjadi, maka akan muncul terus banyak partai, dan partai yang makin lama makin kecil. Satu hal yang kurang sehat untuk kehidupan demokrasi dan bernegara.

Sebaliknya, kalau kita mulai sadar dan mau menerima kenyataan bahwa faksi-faksi politik merupakan keharusan dalam berkelompok, jalan akomodasi bisa ditempuh. Seperti juga dalam sebuah pernikahan, perlu adanya pengorbanan dari ego masing-masing dan menghormati pihak lain maka kalau metode manajemen konflik seperti ini bisa diterima, kehidupan berpartai akan bisa lebih langgeng. Kalau kepentingan beberapa aliran bisa diakomodasi maka setidaknya pihak-pihak yang berkonflik bisa sedikit tenang. Kalau pun nantinya harus melakukan 'challenge' pun, semua pihak baik yang akan menang atau pun yang akan kalah tetap siap, karena ada keyakinan bahwa berbagai pihak ini masih akan diakomodasi kepentingannya.

Partai Kebangkitan Bangsa memang telah mengalami banyak konfik internal. Dan sudah saatnya mencari metode manajeman konflik yang tepat agar tidak lagi konflik menjadi musibah, namun menjadi dinamika yang memacu partai ke depan dan menjadi kontrol awal yang baik dari dalam. Semoga dalam Simposium Nasional dan Mukernas tanggal 11 November yang lalu, upaya-upaya perbaikan partai di antaranya dengan mencari metode penyelesaian konflik yang cantik menjadi bahan bahasan yang membangun untuk PKB ke depan.

sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar